
Klientelisme dan Kedaulatan Suara Pemilih
Ahmad Syailendra (Ketua KPU Kota Tangerang)
Klientelisme merupakan fenomena sosial di Indonesia terutama berkaitan erat dengan masa pemilihan (Pemilu). secara garis besar, klientelisme dapat dipahami sebagai relasi kuasa antara aktor politik yang memberikan sesuatu (patron) non-programatik dengan pihak yang menerima (klien) yang didasari oleh pemberian loyalitas oleh penerima (paternalistik). Secara umum menurut Burhanudin Muhtadi (2020) klientelisme electoral telah mengidentifikasi tiga factor yang menyebabkan seorang individu lebih potensial menjadi target pembelian suara ketimbang yang lain. Ketiga hal tersebut adalah faktor sosial-ekonomi dan demografi, tingkat keterlibatan kewargaan atau sosial (civic engagement), dan sikap politik warga (political attitudes).
Lebih lanjut Aspinal dan Berenschot (2019) – klientelisme Politik terjadi ketika para pemililih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material. Para politisi tersebut menggunakan metode klientelisme untuk memenangkan pemilihn dengan membagi-bagikan bantuan, baran-barang, atau uang tunai kepada para pemilih baik individual maupun kelompok-kelompok kecil. Secara tidak langsung hal tersebut mengaitkan dorongan atau motivasi bagi mereka yang ikut dalam jaringan praktek klientelisme, mengajak masyarakat pemilih untuk dapat datang ke tempat pemungutan suara (TPS) menggunakan hak pilihnya atas bantuan dan dorongan material yang tersebut di atas.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22Cayat (1) UUD 1945. Dengan demikian adagium suara rakyat adalah suara Tuhan merupakan suatu yang mesti dimaknai Sangat Penting dalam perjalanan demokrasi elektoral, kenapa demikian? tanpa adanya masyarakat pemilih tidak ada suatu pemilihan umum, karena jantungnya pemilihan adalah Pemilih. Sehingga sudah kewajiban bersama untuk dapat memberikan kedaulatan pemilih secara luas menggunakan haknya untuk memilih sesuai pilihan dan hati nuraninya.
Pemilih Berdaulat
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara menyatakan dengan tegas bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Makna kedaulatan berada di tangan rakyat yaitu rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban secara demokratis untuk memilih pemimpin yang akan membentuk parlemen dan pemerintahan. Kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan pemilihan kedaulatan adalah rakyat, rakyat itu dalam perspektif KPU khususnya adalah pemilih,”. Frasa rakyat sebagai pemilih merupakan, ibarat sebuah barang mewah yang tak ternilai dengan harga dalam perjalanan demokrasi pemilihan. Hal inilah yang menjadikan ke arah mana paktik-praktik di lapangan yang akan mempengaruhi jalannya pemilihn umum dan ataupun pemilihan kepala daerah, apakah sesuai dengan azas Pemilu – Langsung, umum, bebas dan Rahasia, serta jujur dan Adil (LUBER, JURDIL).
Sahran Raden (2020) Daulat pemilih ini secara filosofis mengupayakan adanya usaha meningkatkan kualitas demokrasi substanstif dengan mengdepankan nilai-nilai dan hakikat demokrasi dan kedaulatan rakyat. Meningkatkan kualitas demokrasi substantif pada dasarnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas demokrasi prosedural. Masyarakat pemilih sepatutnya mendapatkan informasi mengenai substansi kampanye – Visi dan Misi yang dilakukan oleh para peserta pemilu – sewajarnya memberikan pendidikan politik atau edukasi bagaimana memilih calon pemimpin atau perwakilannya di parlemen dengan cara-cara yang lurus.
Namun demikian, praktek yang terjadi Pemilih menjadi sasaran “empuk” untuk bisa di lakukan dengan cara dan praktek-praktek klientelisme. Tentu hal ini menjadi persoalan kita bersama untuk memberikan pemahaman bahwa pemilu merupakan bukan hanya praktek Demokrasi Prosedural semata saat Kampanye dan Hari pencoblosan, akan tetapi akan menjadi luas bagaimana sistem tata kelola pemerintahan di jalankan oleh para pemimpin-pemimpin kita selama 5 tahun ke depanny saat mereka memimpin. Pendidikan politik bagi masyarakat secara berkelanjutan terus dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pemilu dan partai politik serta unsur kelompok masyarakat lainnya. Karena stakeholder kepemiluan tersebut memiliki rasa tanggung jawab yang sama dalam menciptakan iklim demokrasi yang kondusif dan substantif hingga tercipta masyarakat pemilih yang cerdas dan berdaulat.
Praktek Klientelisme di Banten
Banten merupakan Provinsi termuda di Pulau jawa yang merupakan pecahan dari jawa Barat dengan karakter geografis sebagian pesisir, dengan aktivitas penduduknya sebagai petani, nelayan dan sektor jasa dan insdustri. Dengan hiruk pikuk dinamika politik yang terjadi banten dalam pertumbuhan pembangunan dalam perhelatan demokrasi elektoral dianggap berjalan kondusif secara prosuderal. Akan tetapi dalam prespektif demokrasi substantif ada hal-hal penting kedepannya menjadi evaluasi bersama bahwa praktek-praktek klientelisme masih berjalan, berdasarkan data yang di kumulkan oleh penulis dari berbagai media dan berita.
Di antaranya terjadi saat pemilu tahun 2014 dugaan money politik (poltik uang, red) yang dilakukan oleh Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Provinsi Banten dari nomor urut 1 untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Banten 5 bahkan masuk ke ranah Gakumdu. Lalu Tim saber politik uang yang dibuat Bawaslu Banten bersama penyidik dari kepolisian dan kejaksaan menggerebek penampung paket mi instan berisi stiker pasangan calon di Ciruas, Kabupaten Serang. Ada sejumlah paket sembako di gudang tersebut pada perhelatan Pilgub Banten 2017. Kemudian Pengadilan Negeri Kota Tangerang menjatuhkan hukuman penjara kepada Tersangka, terpidana kasus politik uang, yang mengaklaim sebagai pendukung pasangan calon wali kota-wakil wali kota Tangerang Selatan (Tangsel). Sebelumnya terekam video saat membagi-bagikan uang kepada warga kampung Rawa Macek, Kecamatan Serpong, Tangsel. Dalam pemberian uang tersebut, dia menyatakan dukungan kepada salah satu pasangan calon dalam Perhelatan Pikada Tangsel Tahun 2020.
Menurut M. Nur Ramadhan dan Jimmy daniel BO dalam Jurnal Antikorupsi Integritas -”klientelisme merupakan satu fenomena yang masih melekat dalam praktik demokrasi di Indonesia yang secara khusus lekat dengan konteks elektoral dan kedaerahan. Melihat kembali pada pemikiran dasarnya, klientelisme sebagai perilaku koruptif merupakan bentuk transaksi yang berjalan dua arah, sehingga membutuhkan pendalaman dua sisi, yaitu suplay dan demmand. Terus adanya demand dari warga atau pemilh merupakan konsekuens logis dari minimnya kemampuan warga untuk memastikan agenda kesejahteraan ada dalam agenda politik”. Bahwa pendidikan politik sekali lagi, mesti di lakukan secara masif tidak hanya saat penyelenggaraan Tahapan pemilu namun diluar tahapan tersebut para stageholder terkait di dalamnya memiliki rasa tanggung jawab yang sama dalam rangka menciptakan pemilih berdaulat negara kuat.
Strategi Pendidikan Politik Bagi Pemilih
Untuk mngejawantahkan konsep pemilih yang berdaulat, KPU sebagai Penyelenggara Pemilu terus bekerja dalam rangka memberikan pendidikan pemilih pada masyarakat, agar dapat menekan praktek-praktek transaksional yang dapat mencederai proses demokrasi yang sudah semakin baik. Pemilih pemula menjadi target sasaran selain masyarakat pada umumnya, gerakan sadar pemilu memberikan harapan bahwa masyarakat sudah sepatutnya meyakini bahwa Pemilihan merupakan proses politik yang memiliki nilai penting yang tentu tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat.
Peran penting dalam menumbuh kembangkan peran aktif masyarakat dalam Pemilu dan pemilihan tentunya sudah menjadi kewajiban KPU, Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta Partai Politik serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yang menjadi bagian kebaikan dalam proses demokrasi yang lebih baik lagi. dalam hal ini KPU RI mengadakan Program kegiatan Desa Sadar Pemilu dan Pemilihan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengawal pemilu menjadi jauh lebih baik lagi, baik Tingkat Partisipasinya, jauh dari Money Politik dan tindakan Politik SARA serta sadar akan kebenaran informasi dalam melawan informasi HOAK. KPU Kota tangerang mengejawantahkan kegiatan tersebut di atas dalam bentuk Kampung Demokrasi – substansi dari Pemilu LUBER dan JURDIL, serta di dalamnya di berikan Pendidikan Politik dan Pemberdayaan Masyarakat yang sedang di koordinasikan melalui Pemerintah Daerah.
Selain itu pula melalui Rumah Pintar Pemilu (RPP) Nyimas Melati KPU Kota Tangerang terus giat melaksanakan sosialisasi dan pendidikan pemilih sejak dini. Goes To School Menyasar Sekolah-sekolah Dasar sampai SLTP serta SMA, mengadakan kerjasama dengan Pihak Kampus dalam bentuk kegiatan Goes To Campus. Serta menjadikan RPP Nyimas Melati sebagai bagian dari destinasi budaya yang wajib di kunjungi bagi siswa/siswi maupun masyarakat pada umumnya di kota Tangerang. Hal ini merupakan bagian dari ikhtiar KPU dalam rangka menjadikan generasi pemilih kedepannya menjadi generasi Patriot dalam memperjuangkan Demokrasi Pemilihan yang Substantif dan terhindar dari Praktek-Praktek yang dapat mencederai pemilu dan pemilihan.
Referensi :
Burhanudin Muhtadi, 2020. Kuasa Uang Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.
Edward Aspinal dan Ward Berenschot, 2020. Democracy For Sale – Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
KPU RI, 2020. Mendaulatkan Suara Pemilih – Strategi Sosialisasi dan Potret Partisipasi Pemilu 2019. KPU RI.
Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS , 5 (1), 169 – 180
https://news.detik.com/berita/d-3703053/pemilih-berdaulat-negara-kuat-jadi-tagline-pemilu-2019/
https://news.detik.com/berita/d-3423053/tim-saber-politik-uang-pilkada-banten-gerebek-gudang-mi-instan
https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-politik-uang-di-pilkada-tangsel-seorang-aktivis-divonis-36-bulan-penjara.html